Oleh : Rosaning Harum Mediansari
Pernahkah Anda melihat, seorang balita yang tiba – tiba menangis atau
berteriak sangat keras, sampai berguling-guling di lantai? Kemudian orang
tuanya tidak punya pilihan lain selain memenuhi permintaan si balita, hanya
agar si baita tidak membuat malu. Sikap balita seperti itulah yang disebut temper tantrum. Temper tantrum adalah luapan emosi anak
yang meledak – ledak, bisa berupa
kesedihan atau kemarahan. Tapi yang lebih umum, saat kita bicara temper tantrum yang dimaksud adalah
kemarahan. Perilaku ini sering diikuti tingkah seperti menangis dengan keras,
berguling-guling di lantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul, menendang,
dan berbagai tindakan impulsif. Temper
tantrum bersifat interaktif karena umumnya anak mengalami temper tantrum ketika bersama orang yang
mereka kenal, karena sebenarnya anak membutuhkan respon atas perilakunya itu.
Temper tantrum merupakan masalah perilaku yang paling umum
terjadi pada anak usia dini. Usia dua tahun sering dianggap sebagai usia yang paling
sulit bagi orang tua. Beberapa penelitian menunjukan bahwa 50%-80% anak
prasekolah rata-rata mengalami tantrum (Hayes, 2003). Jadi bisa dibilang, permasalahan
temper tantrum adalah normal dan
merupakan bagian dari tahap perkembangan anak. Beberapa penyebab temper tantrum yang dapat kita
identifikasi diantaranya adalah :
·
Anak
merasa bahwa ia tidak mampu melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang
diinginkan. Misal anak yang sedang asyik bermain dengan mainannya kemudian ia
tidak dapat mengambil kembali mainan itu (Mashr, 2011).
·
Ingin
membuktikan dirinya mandiri. Anak mungkin berusaha menunjukkan kepada orang tua
bahwa dia adalah orang yang berbeda dengan kepribadiannya sendiri. Jika tidak
diizinkan, sekalipun dengan alasan yang baik, anak akan merasa kemandiriannya
yang sedang berkembang terancam (Hayes, 2003).
·
Kelelahan
atau kelaparan. Anak biasanya merasa marah ketika ia lelah atau butuh makanan
kecil, dan selanjutnya sangat mudah mengambek jika diprovokasi sedikit saja
(Hayes, 2003).
·
Frustrasi
dari dalam. Ketidaksabaran yang tumbuh bersama dengan kemampuan anak yang
terbatas untuk melakukan hal yang sedang dicoba atau tidak mampu mengungkap
keinginannya secara utuh karena kurangnya keterampilan bahasa bisa memicu
sebuah tantrum. Anak gagal melakukan sesuatu sehingga anak marah dan tidak
dapat mengendalikannya. Hal ini akan semakin parah jika anak merasa bahwa orang
tua membandingakannya dengan orang lain atau memiliki tuntutan yang lebih tinggi
pada anak(Mashar, 2011).
·
Temperamen
anak sangat menentukan. Anak yang aktif dan berkeinginan keras kemungkinan
besar menunjukkan tantrum (Octopus, 2006).
·
Saat
anak menginginkan sesuatu sering ditolak dan dimarahi. Kondisi semakin buruk
jika anak merasa bahwa pendidik atau orang tuanya sering memaksa untuk
melakukan sesuatu saat anak tidak ingin mengerjakan hal itu. Sedangkan anak
akan merasa bahwa ia tidak akan mampu dan tidak berani melawan kehendak orang
tuanya, sementara ia sendiri harus selalu menuruti perintah orang tua. Konflik
tersebut akan merusak emosi anak, sehingga mengakibatkan emosi anak meledak
(Mashar, 2011).
·
Mencari
perhatian. Pada awalnya seorang anak tidak melakukan tantrumnya untuk mencari
perhatian. Akan tetapi, jika ganjaran untuk sebuah tantrum adalah perhatian
yang memuaskan dan sangat besar dari orang dewasa di sekelilingnya, hal itu
bisa menjadi alasan untuk melakukannya lagi (Hayes, 2003).
·
Hal
yang paling sering terjadi adalah karena anak meniru tindakan penyaluran amarah
yang salah. Anak-anak dapat meniru perilaku marah yang ia amati dari orang tua
atau media elektronik. Anak memahami bahwa jika ia marah, ia dapat berlaku
seperti yang ia lihat, misalnya dengan mengamuk, melempar barang dan menendang
(Mashar, 2011).
Secara umum temper tantrum
merupakan ungkapan dari rasa kehilangan kendali, ada sebagian yang mungkin
melibatkan usaha menipu. Temper tantrum
juga merupakan respon rumit terhadap perasaan putus asa, tak berdaya dan amarah
yang terjadi karena tidak ada cara untuk mengatasi perasaan tersebut (Hayes
2003). Jika ditangani dengan benar, seorang anak berhenti menunjukkan temper
tantrum saat berusia tiga atau empat tahun.
Tugas orang tualah untuk mengawal tahap perkembangan di usia yang rentan
tantrum ini. Menangani temper tantrum
tidak bisa diabaikan. Bersikap menyerah sepenuhnya terhadap temper tantrum hampir dipastikan
menjamin munculnya tingkah laku buruk dan meningkatnya frekuensi temper tantrum saat anak tumbuh.
Penggunaan kekuasaan dan paksaan, teriakan dan pukulan selalu membuat tingkah
laku lebih buruk. Orang tua harus dapat
bersikap bijak dalam menghadapi anak tantrum sebab perlakuan orang tua yang
salah dapat mempengaruhi emosi anak. Lalu apa yang sebaiknya dilakukan orang
tua mengahadapi temper tantrum?
·
Mengubah
stimulus lingkungan
Temper Tantrum dapat dikontrol dengan mengubah
kondisi stimulus yang dapat mempengaruhi tantrum. Pencegahan dilakukan dengan cara
mengenali kebiasaan anak, mengetahui secara pasti pada kondisi seperti apa
munculnya temper tantrum (Mashar,
2011). Sebagai contoh jika anak frustasi karena terlalu lelah dalam perjalanan
maka sebelum temper tantrum muncul,
orang tua dapat merehat sejenak perjalanan dan mempersilahkan anak melakukan
kesenangan anak untuk menghilangkan frustasi selama perjalanan.
·
Mengakui
perasaan anak
Menghormati,
menerima dan mengakui perasaan anak termasuk amarah misal dengan berkata “Hal itu
pasti membuatmu merasa sangat kesal” akan membuat anak merasa bahwa orang tua
mengerti perasaan anak sehingga anak tidak tertekan dan meledakkan emosinya di
lain waktu (Hayes, 2003).
·
Reinforcing competing behaviors
Orang tua
mengabaikan tingkah laku anak yang mulai melakukan tantrum kemudian memuji
tingkah laku anak yang baik. Hal ini dilakukan di depan orang lain. Social reinforcement ini akan dapat
mengurangi perilaku tantrum (Octopus, 2006).
·
Memberikan
ketenangan
Setelah anak
menurunkan tantrum, maka orang tua dan pendidik perlu segera mendekati anak,
memeluk dan memberikan ketenangan pada anak. Setelah anak tenang baru orang tua
memberi penjelasan dan pengertian tentang perilaku anak tanpa menyudutkan
(Mashar, 2011).
·
Memberikan
contoh
Seorang anak perlu
melihat bahwa bahwa orang dewasa dapat mengatasi frustasi dan kekecewaan tanpa
harus lepas kendali. Dengan demikian ia dapat belajar mengendalikan diri. Orang
tua tidak dapat mengaharapkan anak menunjukkan sikap yang tenang jika orang tua
memberikan contoh yang buruk (Octopus, 2006). Ketika temper tantrum telah berlalu sebaiknya tidak diikuti dengan
hukuman, nasihat, teguran, sindiran atau memberi hadiah apapun. Orang tua
memberi rasa cinta dan aman pada anak (Mashar, 2011). Menghukum seorang anak
yang mengaalmi tantrum akan selalu membuat tantrum lebih buruk (Hayes, 2003).
Suatu penelitian terbaru menunjukkan bahwa temper tantrum memiliki pola dan durasi tertentu (Potegal, 2003).
Orang tua yang melakukan perlakuan pada anak yang mengalami temper tantrum ternyata mengalami
rata-rata durasi temper tantrum yang
lebih lama. Dibutuhkan kesabaran dan keteguhan orang tua untuk tidak menanggapi
sikap anak yang sedang meledak-meledak, setelah emosinya mulai mereda, barulah
orang tua melakukan pendekatan yang baik pada anak.
Sumber :
Hayes, Eileen. (2003). Tantrum.1st ed. Jakarta : Erlangga
Mashar, Riani. (2011). Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya. 1st
ed. Jakarta : Kencana pp. 92-95
Octopus, Hamlyn. (2006). Kamus Perkembangan Bayi dan Balita. 1st ed. Jakarta :
Erlangga
Potegal, Michael
dan Richard J Davidson. (2003). Temper
Tantrum in Young Children : 2. Tantrum Duration and Temporal Organization.
JDBP. 24: 148-154
Tidak ada komentar:
Posting Komentar