Sabtu, 22 November 2014

MENGENALI DAN MENGHADAPI TEMPER TANTRUM

Oleh : Rosaning Harum Mediansari

Pernahkah Anda melihat, seorang balita yang tiba – tiba menangis atau berteriak sangat keras, sampai berguling-guling di lantai? Kemudian orang tuanya tidak punya pilihan lain selain memenuhi permintaan si balita, hanya agar si baita tidak membuat malu. Sikap balita seperti itulah yang disebut temper tantrum. Temper tantrum adalah luapan emosi anak yang meledak – ledak, bisa berupa kesedihan atau kemarahan. Tapi yang lebih umum, saat kita bicara temper tantrum yang dimaksud adalah kemarahan. Perilaku ini sering diikuti tingkah seperti menangis dengan keras, berguling-guling di lantai, menjerit, melempar barang, memukul-mukul, menendang, dan berbagai tindakan impulsif. Temper tantrum bersifat interaktif karena umumnya anak mengalami temper tantrum ketika bersama orang yang mereka kenal, karena sebenarnya anak membutuhkan respon atas perilakunya itu.

Temper tantrum merupakan masalah perilaku yang paling umum terjadi pada anak usia dini. Usia dua tahun sering dianggap sebagai usia yang paling sulit bagi orang tua. Beberapa penelitian menunjukan bahwa 50%-80% anak prasekolah rata-rata mengalami tantrum (Hayes, 2003). Jadi bisa dibilang, permasalahan temper tantrum adalah normal dan merupakan bagian dari tahap perkembangan anak. Beberapa penyebab temper tantrum yang dapat kita identifikasi diantaranya adalah :
·         Anak merasa bahwa ia tidak mampu melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Misal anak yang sedang asyik bermain dengan mainannya kemudian ia tidak dapat mengambil kembali mainan itu (Mashr, 2011).
·         Ingin membuktikan dirinya mandiri. Anak mungkin berusaha menunjukkan kepada orang tua bahwa dia adalah orang yang berbeda dengan kepribadiannya sendiri. Jika tidak diizinkan, sekalipun dengan alasan yang baik, anak akan merasa kemandiriannya yang sedang berkembang terancam (Hayes, 2003).
·         Kelelahan atau kelaparan. Anak biasanya merasa marah ketika ia lelah atau butuh makanan kecil, dan selanjutnya sangat mudah mengambek jika diprovokasi sedikit saja (Hayes, 2003).
·         Frustrasi dari dalam. Ketidaksabaran yang tumbuh bersama dengan kemampuan anak yang terbatas untuk melakukan hal yang sedang dicoba atau tidak mampu mengungkap keinginannya secara utuh karena kurangnya keterampilan bahasa bisa memicu sebuah tantrum. Anak gagal melakukan sesuatu sehingga anak marah dan tidak dapat mengendalikannya. Hal ini akan semakin parah jika anak merasa bahwa orang tua membandingakannya dengan orang lain atau memiliki tuntutan yang lebih tinggi pada anak(Mashar, 2011).
·         Temperamen anak sangat menentukan. Anak yang aktif dan berkeinginan keras kemungkinan besar menunjukkan tantrum (Octopus, 2006).
·         Saat anak menginginkan sesuatu sering ditolak dan dimarahi. Kondisi semakin buruk jika anak merasa bahwa pendidik atau orang tuanya sering memaksa untuk melakukan sesuatu saat anak tidak ingin mengerjakan hal itu. Sedangkan anak akan merasa bahwa ia tidak akan mampu dan tidak berani melawan kehendak orang tuanya, sementara ia sendiri harus selalu menuruti perintah orang tua. Konflik tersebut akan merusak emosi anak, sehingga mengakibatkan emosi anak meledak (Mashar, 2011).
·         Mencari perhatian. Pada awalnya seorang anak tidak melakukan tantrumnya untuk mencari perhatian. Akan tetapi, jika ganjaran untuk sebuah tantrum adalah perhatian yang memuaskan dan sangat besar dari orang dewasa di sekelilingnya, hal itu bisa menjadi alasan untuk melakukannya lagi (Hayes, 2003).
·         Hal yang paling sering terjadi adalah karena anak meniru tindakan penyaluran amarah yang salah. Anak-anak dapat meniru perilaku marah yang ia amati dari orang tua atau media elektronik. Anak memahami bahwa jika ia marah, ia dapat berlaku seperti yang ia lihat, misalnya dengan mengamuk, melempar barang dan menendang (Mashar, 2011).

Secara umum temper tantrum merupakan ungkapan dari rasa kehilangan kendali, ada sebagian yang mungkin melibatkan usaha menipu. Temper tantrum juga merupakan respon rumit terhadap perasaan putus asa, tak berdaya dan amarah yang terjadi karena tidak ada cara untuk mengatasi perasaan tersebut (Hayes 2003). Jika ditangani dengan benar, seorang anak berhenti menunjukkan temper tantrum saat berusia tiga atau empat tahun.

Tugas orang tualah untuk mengawal tahap perkembangan di usia yang rentan tantrum ini. Menangani temper tantrum tidak bisa diabaikan. Bersikap menyerah sepenuhnya terhadap temper tantrum hampir dipastikan menjamin munculnya tingkah laku buruk dan meningkatnya frekuensi temper tantrum saat anak tumbuh. Penggunaan kekuasaan dan paksaan, teriakan dan pukulan selalu membuat tingkah laku lebih buruk. Orang  tua harus dapat bersikap bijak dalam menghadapi anak tantrum sebab perlakuan orang tua yang salah dapat mempengaruhi emosi anak. Lalu apa yang sebaiknya dilakukan orang tua mengahadapi temper tantrum?
·         Mengubah stimulus lingkungan
Temper Tantrum dapat dikontrol dengan mengubah kondisi stimulus yang dapat mempengaruhi tantrum. Pencegahan dilakukan dengan cara mengenali kebiasaan anak, mengetahui secara pasti pada kondisi seperti apa munculnya temper tantrum (Mashar, 2011). Sebagai contoh jika anak frustasi karena terlalu lelah dalam perjalanan maka sebelum temper tantrum muncul, orang tua dapat merehat sejenak perjalanan dan mempersilahkan anak melakukan kesenangan anak untuk menghilangkan frustasi selama perjalanan.
·         Mengakui perasaan anak
Menghormati, menerima dan mengakui perasaan anak termasuk amarah misal dengan berkata “Hal itu pasti membuatmu merasa sangat kesal” akan membuat anak merasa bahwa orang tua mengerti perasaan anak sehingga anak tidak tertekan dan meledakkan emosinya di lain waktu (Hayes, 2003).
·         Reinforcing competing behaviors
Orang tua mengabaikan tingkah laku anak yang mulai melakukan tantrum kemudian memuji tingkah laku anak yang baik. Hal ini dilakukan di depan orang lain. Social reinforcement ini akan dapat mengurangi perilaku tantrum (Octopus, 2006).
·         Memberikan ketenangan
Setelah anak menurunkan tantrum, maka orang tua dan pendidik perlu segera mendekati anak, memeluk dan memberikan ketenangan pada anak. Setelah anak tenang baru orang tua memberi penjelasan dan pengertian tentang perilaku anak tanpa menyudutkan (Mashar, 2011).
·         Memberikan contoh
Seorang anak perlu melihat bahwa bahwa orang dewasa dapat mengatasi frustasi dan kekecewaan tanpa harus lepas kendali. Dengan demikian ia dapat belajar mengendalikan diri. Orang tua tidak dapat mengaharapkan anak menunjukkan sikap yang tenang jika orang tua memberikan contoh yang buruk (Octopus, 2006). Ketika temper tantrum telah berlalu sebaiknya tidak diikuti dengan hukuman, nasihat, teguran, sindiran atau memberi hadiah apapun. Orang tua memberi rasa cinta dan aman pada anak (Mashar, 2011). Menghukum seorang anak yang mengaalmi tantrum akan selalu membuat tantrum lebih buruk (Hayes, 2003).

Suatu penelitian terbaru menunjukkan bahwa temper tantrum memiliki pola dan durasi tertentu (Potegal, 2003). Orang tua yang melakukan perlakuan pada anak yang mengalami temper tantrum ternyata mengalami rata-rata durasi temper tantrum yang lebih lama. Dibutuhkan kesabaran dan keteguhan orang tua untuk tidak menanggapi sikap anak yang sedang meledak-meledak, setelah emosinya mulai mereda, barulah orang tua melakukan pendekatan yang baik pada anak.

Sumber :
Hayes, Eileen. (2003). Tantrum.1st ed. Jakarta : Erlangga
Mashar, Riani. (2011). Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya. 1st ed. Jakarta : Kencana pp. 92-95
Octopus, Hamlyn. (2006). Kamus Perkembangan Bayi dan Balita. 1st ed. Jakarta : Erlangga

Potegal, Michael dan Richard J Davidson. (2003). Temper Tantrum in Young Children : 2. Tantrum Duration and Temporal Organization. JDBP. 24: 148-154

Tidak ada komentar:

Posting Komentar