Kamis, 22 Desember 2016

Tentang Menjadi Seorang Ibu

TENTANG MENJADI SEORANG IBU
Oleh Maufiroh


Semoga segera diberi momongan ya..”,
begitulah kiranya ketika mengetahui ada pasangan yang baru menikah.
Peran menjadi seorang ibu sangat dihargai oleh budaya Indonesia. Menjadi seorang ibu bagi perempuan Indonesia dinilai sebagai kodrat. Terbukti dengan banyaknya tradisi yang diterapkan kepada perempuan sejak memasuki usia kehamilan hingga bayi baru lahir. Menjadi seorang ibu adalah peran yang sangat diidamkan, perempuan harus melalui proses yang kompleks dan tidak mudah. Meskipun dirasa tidak mudah, tetapi ada rasa bahagia bagi perempuan yang telah menyadang gelar sebagai seorang ibu.
Seberapa sulitkah menghadapi tantangan menjadi seorang ibu?
Menurut teori keperawatan, proses menjadi seorang ibu merupakan sebuah proses di mana perempuan untuk mencapai rasa nyaman, menjalankan peran, dan mengakui dirinya sebagai seorang ibu (Mercer, 2004). Secara teori, perempuan harus melalui 4 tahapan untuk mencapai sebuah identitas sebagai seorang ibu. Keempat tahap tersebut, yaitu antisipatori, formal, informal, personal (Mercer, 2006). Tahap antisipatori dilalui sejak memasuki usia kehamilan, ditandai dengan munculnya rasa kasih sayang pada calon bayi, mengidamkan, dan membayangkan bayi yang akan lahir kelak. Tahap formal, informal, dan personal dialami sejak kelahiran bayi hingga 1 tahun setelah kelahiran. Masa puncak perempuan untuk mencapai identitas dirinya sebagai ibu berada pada masa formal-informal, yaitu 0-4 bulan setelah melahirkan. Pada masa ini,terdapatbegitu banyak tantangan yang harus dihadapi perempuan untuk mencapai identitas dirinya sebagai seorang ibu.

Beberapa tantangan yang dihadapi perempuan terdiri atas faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari: usia, pengalaman melahirkan, karakter personal, konsep diri, dan status kesehatan. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari: temperamen bayi, pemisahan diri dari bayi, dan dukungan sosial. Berdasarkan hasil penelitian, semua faktor tersebut mempengaruhi kesiapan perempuan untuk menjadi seorang ibu.

Menurut Eshbaugh, Lempers, & Luze (2006), perempuan remaja mengalami kesulitan dalam mencapai peran ibu karena memiliki pengalaman dan sumber yang terbatas. Selain itu, bagi perempuan yang pertama kali menjadi ibu (primipara) juga mengalami kesulitan dibandingkan dengan perempuan yang telah memiliki anak (multipara) karena pengalaman dalam merawat bayi (Cinar & Ozturk, 2014). Namun, penelitian menemukan bahwa perempuan primipara memiliki kepedulian yang lebih tinggi terhadap perawatan bayi (Afiyanti, et al, 2006).

Karakter empati pada perempuan penting dalam proses menjadi seorang ibu. Hal tersebut menunjukkan adanya kepedulian perempuan terhadap bayinya. Sedangkan karakter yang mudah gelisah dan cemas berlebihan akan menjadi lebih sulit dalam beradaptasi saatmemainkan peran barunya sebagai ibu (Murray & McKinney, 2014). Selain itu, perempuan dengan kesehatan yang buruk juga sangat berpengaruh terhadap kedekatannya dengan bayi dan akan memperlambat proses transisi menjadi seorang ibu (Mercer, 1977).

Selain faktor internal, faktor eksternal juga turut memengaruhi proses adaptasi perempuan menjadi seorang ibu. Salah satunya adalah dukungan sosial. Dukungan sosial adalah sejumlah bantuan yang dirasakan dan terdapat orang-orang yang menyediakan bantuan tersebut. Dukungan sosial dapat berupa emosional, informasional, fisik, dan penghargaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan dukungan sosial berpengaruh pada pencapaian kemampuan peran menjadi ibu, terlebih pada kondisi perempuan yang berisiko tinggi (Jirapaet, 2001). Banyak jugahasil penelitian yang menunjukkan bahwa dukungan suami yang baik dapat meningkatkan kepuasan perempuan menjadi seorang ibu dan merasa lebih mudah menjalani transisi peran, menikmati kebersamaan dengan bayi dan stress berkurang (McVeigh & Smith, 2000). Selain dukungan suami, dukungan dari ibu dan anggotakeluargalainnya juga berpengaruh terhadap peningkatan kompetensi menjadi ibu, khususnya ibu primipara.

Banyak sekali tantangan yang harus dihadapi oleh perempuan untuk sukses beradapatasi terhadap peran barunya, khususnya bagi perempuan yang baru pertama kali menjalani peran sebagai seorang ibu. Oleh karena itu, dukungan sosial adalah aspek yang sangat dibutuhkan oleh perempuan dalam menjalani masa transisi ini, khususnya dukungan dari suami dan keluarga. Menjadi seorang ibu yang baik adalah perempuan yang tidak hanya mampu peduli pada bayinya, tapi juga peduli terhadap kesehatan dirinya.

Selamat Hari Ibu! J

Referensi
Afiyanti, Y., Rachmawati, I. N., & Nurhaeni, N. (2006). Perbedaan Kepedulian Maternal Antara Ibu Primipara dan Ibu Multipara Pada Awal Periode Post Partum. Jurnal Keperawatan Indonesia, 10(2), 54–60.
Cinar, I. O., & Ozturk, A. (2014). The Effect of Planned Baby Care Education Given to Primiparous Mothers on Maternal Attachment and Self-Confidence Levels. Health Care for Women International, (3), 320–333. http://doi.org/http://dx.doi.org/10.1080/07399332.2013.842240
Jirapaet, V. (2001). Factors affecting maternal role attainment among low-income, Thai, HIV-positive mothers. Journal of Transcultural Nursing : OfficialJournal of the Transcultural Nursing Society / Transcultural NursingSociety, 12(1), 25–33. http://doi.org/10.1177/104365960101200104
McVeigh, C., & Smith, M. (2000). A comparison of adult and teenage mother’s self-esteem and satisfaction with social support. Midwifery, 16(4), 269–276. http://doi.org/10.1054/midw.2000.0226
Mercer, R. T. (1977). Postpartum : Illness Acquaintance- Attachment. The American Journal of Nursing, 77(7), 1174–1178. Retrieved fromwww.jstor.org/stable/3461797
Mercer, R. T. (2004). Becoming a mother versus maternal role attainment. Journal of Nursing Scholarship, 36(3), 226-232.
Mercer, R. T. (2006). Nursing Support of the Process of Becoming a Mother. Journal of Obstetric, Gynecologic, & Neonatal Nursing, 35(5), 649–651. http://doi.org/10.1111/j.1552-6909.2006.00086.x

Murray, S.S & McKinney, E.S. (2014). Foundations of Maternal-Newborn and Women's Health Nursing, 6th Ed. United States of America, Elsevier, Inc.

Minggu, 20 November 2016

Atraumatic Care bagi Anak yang Mengalami Hospitalisasi



oleh Faiqa Himma Emalia



Menilik dari pengalaman penulis ketika praktik di bangsal anak sebuah rumah sakit rujukan nasional, saya dapat merasakan betapa lelahnya menjadi orang tua, terutama ketika anak sedang sakit dan mengalami hospitalisasi (menjalani rawat inap di rumah sakit). Seringkali saya temui, orang tua begitu kewalahan mengurus anaknya yang sedang sakit. Di rumah sakit, anak cenderung tidak toleran, kurang kooperatif, susah dibujuk, sensitif, merasa ketakutan, tidak mudah beradaptasi, dan rewel. Orang tua tentu tertekan karena di satu sisi khawatir kondisi anaknya memburuk, di sisi lain mereka bingung bagaimana cara terbaik menghadapi anaknya. Beberapa orang tua mungkin memiliki resiliensi yang baik sehingga tetap tenang menghadapi anak yang sedang mendapatkan terapi medis. Namun, ada juga orang tua yang mengekspresikan kegelisahannya dengan ikut menangis, panik, dan bahkan ada yang memarahi anak yang sulit dikontrol selama menjalani terapi medis. Reaksi yang tidak tepat justru semakin membuat anak merasa terancam dan tidak mudah menerima lingkungan rumah sakit.




Perubahan sikap anak ketika menjalani perawatan di rumah sakit/pelayanan kesehatan adalah hal lumrah dan seringkali terjadi. Anak usia pra sekolah mudah mengalami trauma selama proses hospitalisasi karena mereka masih belum memiliki kemampuan adaptasi sebaik orang dewasa. Ketidakmampuan anak untuk beradaptasi dengan proses perawatan dan lingkungan rumah sakit akhirnya membuat anak sering mengalami ketakutan, marah, tidak berdaya, dan tidak terkontrol (Kyle, 2008). Jika ditelisik dampak jangka panjang, kecemasan dan ketakutan anak yang tidak teratasi selama proses hospitalisasi akan memperpanjang lama perawatan dan proses penyembuhan. 

Lalu, bagaimana cara menghindari atau setidaknya mengurangi trauma pada anak sehingga anak dapat lebih kooperatif dalam menjalani perawatan di rumah sakit? Apa saja yang bisa dilakukan orang tua agar anak mudah beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit? 
Masalah trauma pada anak selama proses hospitalisasi dari masa ke masa akhirnya menjadi perhatian segenap ilmuwan dan jajaran tenaga kesehatan. Sampai akhirnya, muncul teori atraumatic care yang digagas oleh Donna Wong, pakar pediatric nursing. Atraumatic care adalah perawatan terapeutik yang meminimalkan distress fisik maupun psikologis yang dialami anak beserta keluarga di pelayanan kesehatan (Whaley & Wong, 1995; Hockenberry, 2005). Telah banyak penelitian yang menguji hubungan antara atraumatic care dengan kondisi psikologis anak ketika mengalami hospitalisasi. Salah satunya adalah penelitian oleh Rini, Sari, dan Rahmawati (2013) yang menemukan bahwa penerapan atraumatic care di rumah sakit secara signifikan menurunkan kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi.  

Penguasaan teknik atraumatic care menurut penulis adalah hal yang esensial bagi seluruh tenaga kesehatan yang berinteraksi dengan anak. Pendapat ini dilatarbelakangi berbagai observasi dan penelitian yang membuktikan bahwa penerapan teknik atraumatic care akan memberikan peluang besar bagi anak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang holistik tanpa mencederai kondisi psikologisnya. Praktik atraumatic care ini akan semakin memberikan hasil yang bermakna jika orang tua turut terlibat. Adapun beberapa cara agar orang tua terlibat aktif dalam atraumatic care adalah sebagai berikut:
Pertama, be knowledgeable, be informed. Orang tua perlu mengetahui dan memahami kondisi anak secara berkelanjutan. Jika orang tua merasa ada informasi yang kurang dipahami, jangan ragu-ragu untuk meminta penjelasan pada tenaga kesehatan, baik perawat maupun dokter penanggung jawab anak. Ketika orang tua telah mengetahui kondisi anaknya dengan baik, orang tua tidak akan mudah cemas dan memahami atau menerima kondisi anak. Selain itu, dengan orang tua memahami kondisi anak, orang tua dapat memenuhi kebutuhan anak secara spesifik. Seharusnya, dalam atraumatic care, tenaga kesehatan memang memiliki tanggung jawab untuk memberikan edukasi kepada keluarga tentang kondisi anak, serta cara perawatannya. Jadi, jika orang tua merasa tidak cukup terinformasikan mengenai kondisi anak, orang tua dapat secara asertif meminta tenaga kesehatan untuk menjelaskan hal yang dibutuhkan. Terkadang, keaktifan orang tua dapat menjadi evaluasi bagi tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik.

Kedua, orang tua perlu secara aktif terlibat dalam pengambilan keputusan. Poin kedua ini tidak lepas dari poin pertama. Jika orang tua telah memahami kondisi anak dengan baik melalui penjelasan tenaga kesehatan, maka orang tua dapat terlibat aktif dalam pengambilan keputusan setiap perawatan. Konsep atraumatic care merekomendasikan tenaga kesehatan untuk menghindari tindakan-tindakan invasif yang tidak esensial (Kyle, 2008). Jadi, betapa baiknya jika orang tua dan tenaga kesehatan saling berdiskusi terkait perencanaan perawatan dan prosedur yang akan diberikan pada anak. Misalnya, apa saja pemeriksaan fisik yang diperlukan, apa saja jenis obat yang diberikan, apa saja tindakan invasif yang hendak dilakukan pada anak. Jika ada beberapa tindakan invasif yang akan dilakukan pada anak, diskusikan kepada tenaga kesehatan apakah tindakan tersebut tidak dapat diganti dengan prosedur lain yang tidak invasif? Atau, apakah tindakan tersebut memang harus dilakukan? Tenaga kesehatan sendiri berkewajiban untuk memilah dan memilih prosedur invasif yang efektif dilakukan pada anak. Misalnya, pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium perlu ditinjau dengan jeli sehingga pengambilan darah tidak dilakukan berulang-ulang kali. 

Ketiga, jangan sampai anak sendirian tanpa ada anggota keluarga yang menemani. Jika memang orang tua harus meninggalkan rumah sakit karena keperluan tertentu, pastikan ada anggota keluarga lain yang menemani. Perpisahan anak dengan keluarga di lingkungan rumah sakit akan menjadi hal yang mengancam bagi anak. Anak merasa bahwa lingkungan rumah sakit merupakan penyebab terpisahnya ia dengan dukungan sosialnya. Keberadaan orang tua di samping anak juga diperlukan ketika tenaga kesehatan melakukan prosedur perawatan.. Misalnya, saat anak akan mendapatkan prosedur injeksi atau suntik, orang tua perlu menemani anak agar anak merasa lebih tenang. Pada saat prosedur ini dilakukan, orang tua dapat memeluk dan membelai anak sehingga perawat dapat dengan mudah melakukan prosedur. Jika anak mulai menangis, orang tua harus sigap menenangkan, menghindari rasa panik dan simpati berlebihan sampai ikut menangis. Apabila orang tua bersikap tenang, anak pun menjadi tidak cepat gelisah. Jika ada suatu kondisi dimana tenaga kesehatan memisahkan anak dengan orang tuanya, maka orang tua perlu meminta penjelasan alasan pemisahan tersebut dan kapan saja orang tua dapat menemani anak. 



Keempat, dorong anak untuk “bermain” sesuai usianya. Orang tua dapat berdiskusi dengan tenaga kesehatan tentang permainan yang masih bisa dilakukan anak di rumah sakit. Suasana rumah sakit yang monoton dan tidak memiliki sumber hiburan yang adekuat membuat anak sering merasa bosan. Bermain merupakan cara anak untuk menjalin interaksi dengan lingkungannya, sebagai piranti untuk mengekspresikan tidak hanya perasaan cinta atau senang, tetapi juga ansietas dan frustasi (Francischinelli, Almeida, & Fernandes, 2012). Permainan akan memberikan hiburan, waktu luang, dan distraksi yang dibutuhkan untuk perkembangan anak di segala usia. Permainan juga dapat mempengaruhi kondisi anak secara fisik maupun emosional sehingga proses hospitalisasi menjadi less traumatic dan mempercepat proses pemulihan anak. Pada proses hospitalisasi, terdapat permainan yang disebut theraupetic play (TP) yang dideterminasikan sebagai permainan dramatis, instruksional, dan penyokong fungsi fisiologis (Koller, 2008). TP dapat menjadi wadah bagi anak untuk melepaskan ekspresi emosional, perasaan, keinginan, dan pengalaman hidup. Bedasarkan hal tersebut, TP diyakini bermanfaat untuk membentuk komunikasi yang lebih efektif dan memberikan kesempatan bagi anak untuk bermain peran sehingga mereka dapat memahami kondisi lebih baik dan memodifikasi perilakunya (Koller, 2008). Beberapa literatur mengungkap bahwa bermain di rumah sakit/pelayanan kesehatan akan banyak menguntungkan bagi orang tua. Karena melalui permainan, anak dapat memiliki pengalaman yang membuatnya merasa hidup meskipun dalam situasi krisis seperti ketika ia sakit. Contoh dari TP antara lain puppet show atau puppet and doll play. Melalui puppet show, cerita yang dibawakan dapat disusun menjadi cerita menyenangkan yang mengandung pembelajaran dan pengalaman bagi anak sehingga anak tidak hanya merasa terhibur, tetapi juga membentuk perilaku yang lebih baik. Aktivitas lainnya bagi anak untuk mengurangi kejenuhannya adalah mewarnai, membuat keterampilan, bernyanyi bersama, dan lain sebagainya. Permainan dan aktivitas tersebut dapat dimodifikasi sesuai dengan usia anak. Tenaga kesehatan dan orang tua sebaiknya saling berdiskusi untuk menentukan permainan/aktivitas terbaik bagi anak.

Pada akhirnya, ketika atraumatic care tidak hanya menjadi tanggung jawab tenaga kesehatan karena ada keterlibatan aktif orang tua dalam prosesnya, maka hasilnya pun tidak hanya berpengaruh terhadap pembentukan perilaku anak yang lebih baik, tetapi juga penurunan beban orang tua dalam merawat anak. Kolaborasi tenaga kesehatan dan orang tua dalam menjalankan atraumatic care tidak hanya menurunkan dampak negatif hospitalisasi terhadap kondisi mental anak, tetapi juga semakin mempercepat proses penyembuhan anak, menurunkan biaya perawatan, serta secara tidak langsung mengurangi beban kerja tenaga kesehatan. Jadi, tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa atraumatic care dan  keterlibatan orang tua dalam atraumatic care menjadi salah satu praktik yang harus diadvokasi dan direvitalisasi di bangsal anak seluruh jajaran pelayanan kesehatan.

Referensi:
Francischinelli, Almeida, & Fernandes. (2012). Routine use of therapeutic play in the care of hospitalized children: nurses' perceptions. Acta Paulista de Enfermagem. 25, 1. doi: http://dx.doi.org/10.1590/S0103-21002012000100004
Furdon, Pfeil, Snow. (1998). Operationalizing Donna Wong's principle of atraumatic care: pain management protocol in the NICU. Pediatric Nurs, 24(4), 336-342
Koller, Donna. (2008). Therapeutic play in pediatric health care: The essence of child life practice. Canada: Child Life Council
Kyle, Terri. (2008). Essentials of pediatric nursing. Baltimore: Wolters Kluwer
Rini, Sari, & Rahmawati. (2013). Hubungan Penerapan Atraumatic Care dengan Kecemasan Anak Prasekolah Saat Proses Hospitalisasi di RSU dr. H. Koesnadi Kabupaten Bondowoso. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa, 1-8.

Rabu, 05 Oktober 2016







Instagram: @maternmom
Facebook: MaternMom
Contact Person: Cita Mahdah (+62 857-4580-4003)

Bakti Sosial dan Pendidikan Kesehatan Reproduksi di Panti Asuhan (Rayakan dengan Keberkahan)



Rayakan dengan Keberkahan merupakan salah satu proyek sosial Maternmom yang diadakan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Pengumpulan donasi berupa uang dan baju layak pakai dilakukan tanggal 20 Juni-3 Juli 2016. Donasi yang terkumpul berupa uang sebesar Rp 4.350.000,00 dan berupa barang yaitu 2 kardus pakaian layak pakai dan 5 dus sepatu dan sandal baru. Donasi diserahkan kepada yayasan Yabappennatim pada tanggal 4 Juli 2016. Selain penyerahan donasi, Maternmom juga memberikan pendidikan dan konsultasi kesehatan reproduksi remaja kepada anak-anak panti. Hasil evaluasi kegiatan menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan kesehatan reproduksi yang signifikan pada remaja di yayasan Yabappenatim.