oleh Faiqa Himma Emalia
Menilik
dari pengalaman penulis ketika praktik di bangsal anak sebuah rumah sakit rujukan
nasional, saya dapat merasakan betapa lelahnya menjadi orang tua, terutama
ketika anak sedang sakit dan mengalami hospitalisasi
(menjalani rawat inap di rumah sakit).
Seringkali saya temui, orang tua begitu kewalahan mengurus anaknya yang sedang
sakit. Di rumah sakit, anak cenderung tidak toleran, kurang kooperatif, susah
dibujuk, sensitif, merasa ketakutan, tidak mudah beradaptasi, dan rewel. Orang
tua tentu tertekan karena di satu sisi khawatir kondisi anaknya memburuk, di
sisi lain mereka bingung bagaimana cara terbaik menghadapi anaknya. Beberapa
orang tua mungkin memiliki resiliensi yang baik sehingga tetap tenang
menghadapi anak yang sedang mendapatkan terapi medis. Namun, ada juga orang tua
yang mengekspresikan kegelisahannya dengan ikut menangis, panik, dan bahkan ada
yang memarahi anak yang sulit dikontrol selama menjalani terapi medis.
Reaksi yang tidak tepat justru semakin membuat anak merasa terancam dan tidak
mudah menerima lingkungan rumah sakit.
Perubahan
sikap anak ketika menjalani perawatan di rumah sakit/pelayanan kesehatan adalah
hal lumrah dan seringkali terjadi. Anak usia pra sekolah mudah mengalami trauma
selama proses hospitalisasi karena mereka masih belum memiliki kemampuan
adaptasi sebaik orang dewasa. Ketidakmampuan anak untuk beradaptasi dengan
proses perawatan dan lingkungan rumah sakit akhirnya membuat anak sering
mengalami ketakutan, marah, tidak berdaya, dan tidak terkontrol (Kyle, 2008). Jika
ditelisik dampak jangka panjang, kecemasan dan ketakutan anak yang tidak
teratasi selama proses hospitalisasi akan memperpanjang lama perawatan dan
proses penyembuhan.
Lalu,
bagaimana cara menghindari atau setidaknya mengurangi trauma pada anak sehingga
anak dapat lebih kooperatif dalam menjalani perawatan di rumah sakit? Apa saja
yang bisa dilakukan orang tua agar anak mudah beradaptasi dengan lingkungan
rumah sakit?
Masalah
trauma pada anak selama proses hospitalisasi dari masa ke masa akhirnya menjadi
perhatian segenap ilmuwan dan jajaran tenaga kesehatan. Sampai akhirnya, muncul
teori atraumatic care yang digagas
oleh Donna Wong, pakar pediatric nursing.
Atraumatic care adalah perawatan terapeutik yang meminimalkan distress fisik maupun psikologis
yang dialami anak beserta keluarga di pelayanan kesehatan (Whaley & Wong,
1995; Hockenberry, 2005). Telah banyak penelitian yang menguji hubungan antara atraumatic care dengan kondisi
psikologis anak ketika mengalami hospitalisasi. Salah satunya adalah penelitian
oleh Rini, Sari, dan Rahmawati (2013) yang menemukan bahwa penerapan atraumatic care di rumah sakit secara
signifikan menurunkan kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi.
Penguasaan
teknik atraumatic care menurut penulis adalah hal yang esensial bagi seluruh tenaga
kesehatan yang berinteraksi dengan anak. Pendapat ini
dilatarbelakangi berbagai observasi dan penelitian yang membuktikan bahwa
penerapan teknik atraumatic care akan memberikan peluang
besar bagi anak untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang holistik tanpa mencederai kondisi psikologisnya.
Praktik atraumatic care ini akan
semakin memberikan hasil yang bermakna jika orang tua turut terlibat. Adapun
beberapa cara agar orang tua terlibat aktif dalam atraumatic care adalah sebagai berikut:
Pertama,
be knowledgeable, be informed. Orang
tua perlu mengetahui dan memahami kondisi anak secara berkelanjutan. Jika orang
tua merasa ada informasi yang kurang dipahami, jangan ragu-ragu untuk meminta
penjelasan pada tenaga kesehatan, baik perawat maupun dokter penanggung jawab
anak.
Ketika orang tua telah mengetahui kondisi anaknya
dengan baik, orang tua tidak akan mudah cemas dan memahami atau menerima kondisi
anak. Selain itu, dengan orang tua memahami kondisi anak, orang tua dapat
memenuhi kebutuhan anak secara spesifik. Seharusnya, dalam atraumatic care, tenaga kesehatan memang memiliki tanggung jawab
untuk memberikan edukasi kepada keluarga tentang kondisi anak, serta cara
perawatannya. Jadi, jika orang tua merasa tidak cukup terinformasikan mengenai
kondisi anak, orang tua dapat secara asertif meminta tenaga kesehatan untuk menjelaskan
hal yang dibutuhkan. Terkadang, keaktifan orang tua dapat menjadi evaluasi bagi
tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik.
Kedua,
orang tua perlu secara aktif terlibat dalam pengambilan keputusan. Poin kedua
ini tidak lepas dari poin pertama. Jika orang tua telah memahami kondisi anak
dengan baik melalui penjelasan tenaga kesehatan, maka orang tua dapat terlibat aktif
dalam pengambilan keputusan setiap perawatan. Konsep atraumatic care merekomendasikan tenaga kesehatan untuk menghindari
tindakan-tindakan invasif yang tidak esensial (Kyle, 2008). Jadi, betapa
baiknya jika orang tua dan tenaga kesehatan saling berdiskusi terkait
perencanaan perawatan dan prosedur yang akan diberikan pada anak. Misalnya, apa
saja pemeriksaan fisik yang diperlukan, apa saja jenis obat yang diberikan, apa
saja tindakan invasif yang hendak dilakukan pada anak. Jika ada beberapa
tindakan invasif yang akan dilakukan pada anak, diskusikan kepada tenaga
kesehatan apakah tindakan tersebut tidak dapat diganti dengan prosedur lain
yang tidak invasif? Atau, apakah tindakan tersebut memang harus dilakukan?
Tenaga kesehatan sendiri berkewajiban untuk memilah dan memilih prosedur
invasif yang efektif dilakukan pada anak. Misalnya, pengambilan darah untuk
pemeriksaan laboratorium perlu ditinjau dengan jeli sehingga pengambilan darah
tidak dilakukan berulang-ulang kali.
Ketiga,
jangan sampai anak sendirian tanpa ada anggota keluarga yang menemani. Jika
memang orang tua harus meninggalkan rumah sakit karena keperluan tertentu,
pastikan ada anggota keluarga lain yang menemani. Perpisahan anak dengan
keluarga di lingkungan rumah sakit akan menjadi hal yang mengancam bagi anak.
Anak merasa bahwa lingkungan rumah sakit merupakan penyebab terpisahnya ia
dengan dukungan sosialnya. Keberadaan orang tua di samping anak juga diperlukan
ketika tenaga kesehatan melakukan prosedur perawatan.. Misalnya, saat anak akan
mendapatkan prosedur injeksi atau suntik, orang tua perlu menemani anak agar
anak merasa lebih tenang. Pada saat prosedur ini dilakukan, orang tua dapat
memeluk dan membelai anak sehingga perawat dapat dengan mudah melakukan
prosedur. Jika anak mulai menangis, orang tua harus sigap menenangkan, menghindari
rasa panik dan simpati berlebihan sampai ikut menangis. Apabila orang tua
bersikap tenang, anak pun menjadi tidak cepat gelisah. Jika ada suatu kondisi
dimana tenaga kesehatan memisahkan anak dengan orang tuanya, maka orang tua perlu
meminta penjelasan alasan pemisahan tersebut dan kapan saja orang tua dapat menemani
anak.
Keempat, dorong anak untuk “bermain” sesuai usianya. Orang tua
dapat berdiskusi dengan tenaga kesehatan tentang permainan yang masih bisa
dilakukan anak di rumah sakit. Suasana rumah sakit yang monoton dan tidak memiliki
sumber hiburan yang adekuat membuat anak sering merasa bosan. Bermain merupakan
cara anak untuk menjalin interaksi dengan lingkungannya, sebagai piranti untuk
mengekspresikan tidak hanya perasaan cinta atau senang, tetapi juga ansietas
dan frustasi (Francischinelli, Almeida, & Fernandes,
2012). Permainan akan memberikan hiburan, waktu luang, dan
distraksi yang dibutuhkan untuk perkembangan anak di segala usia. Permainan
juga dapat mempengaruhi kondisi anak secara fisik maupun emosional sehingga
proses hospitalisasi menjadi less
traumatic dan mempercepat proses pemulihan anak. Pada proses hospitalisasi,
terdapat permainan yang disebut theraupetic
play (TP) yang dideterminasikan sebagai permainan dramatis, instruksional,
dan penyokong fungsi fisiologis (Koller, 2008). TP dapat menjadi wadah bagi
anak untuk melepaskan ekspresi emosional, perasaan, keinginan, dan pengalaman
hidup. Bedasarkan hal tersebut, TP diyakini bermanfaat untuk membentuk
komunikasi yang lebih efektif dan memberikan kesempatan bagi anak untuk bermain
peran sehingga mereka dapat memahami kondisi lebih baik dan memodifikasi
perilakunya (Koller, 2008). Beberapa literatur mengungkap bahwa bermain di rumah
sakit/pelayanan kesehatan akan banyak menguntungkan bagi orang tua. Karena
melalui permainan, anak dapat memiliki pengalaman yang membuatnya merasa hidup
meskipun dalam situasi krisis seperti ketika ia sakit. Contoh dari TP antara lain
puppet show atau puppet and doll play. Melalui puppet
show, cerita yang dibawakan dapat disusun menjadi cerita menyenangkan yang mengandung
pembelajaran dan pengalaman bagi anak sehingga anak tidak hanya merasa terhibur,
tetapi juga membentuk perilaku yang lebih baik. Aktivitas lainnya bagi anak
untuk mengurangi kejenuhannya adalah mewarnai, membuat keterampilan, bernyanyi
bersama, dan lain sebagainya. Permainan dan aktivitas tersebut dapat
dimodifikasi sesuai dengan usia anak. Tenaga kesehatan dan orang tua sebaiknya
saling berdiskusi untuk menentukan permainan/aktivitas terbaik bagi anak.
Pada
akhirnya, ketika atraumatic care
tidak hanya menjadi tanggung jawab tenaga kesehatan karena ada keterlibatan
aktif orang tua dalam prosesnya, maka hasilnya pun tidak hanya berpengaruh
terhadap pembentukan perilaku anak yang lebih baik, tetapi juga penurunan beban
orang tua dalam merawat anak. Kolaborasi tenaga kesehatan dan orang tua dalam
menjalankan atraumatic care tidak
hanya menurunkan dampak negatif hospitalisasi terhadap kondisi mental anak,
tetapi juga semakin mempercepat proses penyembuhan anak, menurunkan biaya
perawatan, serta secara tidak langsung mengurangi beban kerja tenaga kesehatan.
Jadi, tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa atraumatic care dan
keterlibatan orang tua dalam atraumatic
care menjadi salah satu praktik yang harus diadvokasi dan direvitalisasi di
bangsal anak seluruh jajaran pelayanan kesehatan.
Referensi:
Francischinelli, Almeida, & Fernandes. (2012). Routine use of therapeutic play in the care of hospitalized children:
nurses' perceptions. Acta Paulista de Enfermagem. 25, 1. doi: http://dx.doi.org/10.1590/S0103-21002012000100004
Furdon, Pfeil, Snow. (1998). Operationalizing
Donna Wong's principle of atraumatic care: pain management protocol in the NICU. Pediatric
Nurs, 24(4), 336-342
Koller, Donna. (2008). Therapeutic
play in pediatric health care: The essence of child life practice. Canada:
Child Life Council
Kyle, Terri.
(2008). Essentials of pediatric nursing.
Baltimore: Wolters Kluwer
Rini, Sari, & Rahmawati. (2013). Hubungan
Penerapan Atraumatic Care dengan Kecemasan Anak Prasekolah Saat Proses Hospitalisasi
di RSU dr. H. Koesnadi Kabupaten Bondowoso. Artikel
Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa, 1-8.