oleh Masturoh Widuri Sinta
Down syndrome (DS) merupakan suatu
kelainan genetik ditandai dengan kelebihan kromosom 21, biasanya berjumlah 3
yang menyebabkan terjadinya retardasi mental dan fisik pada penderitanya.
Normalnya, jumlah kromosom saling berpasangan. Kejadian DS di Indonesia terjadi
setiap 1 dari 600 kelahiran bayi. Anak yang mengalami DS memiliki muka yang
sangat khas, sering kali anak dengan down syndrome disebut ras mongolia. Tanda
yang dapat langsung dilihat setelah lahir adalah posisi telinga yang berada di
bawah garis mata. Normalnya, posisi telinga berada sejajar dengan garis mata.
Terjadinya DS pada anak dapat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhannya.
Pemeriksaan untuk melihat adanya DS
dapat dilakukan pada saat kehamilan dan lahir. Pemeriksaan pada saat kehamilan
dilakukan antara minggu ke 8-20 usia kehamilan. Jenis pemeriksaanpun bermacam
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi ibu. Jenis pemeriksaan antara lain
Chorionic Virus Sampling (CVS), amniosintesis, Percutaneous Umbilical Blooad
Sampling (PUBS). Amniosintesis dilakukan pada minggu ke 12-20 usia kehamilan,
CVS dilakukan pada minggu ke 8-12 usia kehamilan, dan PUBS pada minggu ke-20
kehamilan. Pemeriksaan pada bayi dilakukan saat bayi baru lahir dengan melihat
keadaan fisik bayi seperti kekuatan otot, bentuk wajah, bentuk mata, dan bentuk
telinga.
Terdapat tiga pola yang
mengakibatkan terjadinya DS, yaitu, trisomi 21, translokasi, dan mosaicism.
Trisomi 21 adalah kelainan yang terjadinya karena adanya kesalahan pada saat
pembelahan sel. Translokasi adalah ketika pada saat pembelahan terjadi
perpindahan kromosom lain ke arah kromosom 21. Mosaicism terjadi ketika
terdapat 2 sel dari berbeda kromosom terjadi karena lambatnya penyatuan
kromosom. Tipe translokasi dan mosaicism jarang terjadi. Down Syndrome
tidak selalu diturunkan pada keturunan yang selanjutnya. Down Syndrome dapat
terjadi karena beberapa faktor resiko, diantaranya adalah usia ibu pada saat
hamil, adanya riwayat keluarga DS, oral kontrasepsi, dan ketidakseimbangan asam
folat.
Usia ibu pada saat hamil menjadi faktor
resiko yang selalu disebutkan dalam jurnal penelitian, buku, maupun website
mengenai down syndrome. Usia ibu mempengaruhi terjadinya pembelahan sel, makin
tua usia ibu maka terdapat faktor pengganggu pada pembelahan sel terutama pada
usia ibu diatas 35 tahun. Seperti yang disebutkan diatas bahwa down syndrome
tidak langsung diturunkan pada keturunan selanjutnya, ibu yang memiliki resiko
atau kelainan yang mengarah pada down syndrome akan menurunkan bakat tersebut
ke keturunannya. Riwayat keluarga down syndrome juga menjadi faktor resiko.
Nagya (2013) menyebutkan dalam
jurnalnya bahwa ibu dengan kehamilan trisomi memiliki riwayat pemakaian oral
kontrasepsi lebih pendek sebelum adanya kehamilan trisomi. Dengan kata lain,
oral kontraspesi membantu ibu dalam mengurangi resiko terjadinya kehamilan
trisomi (down syndrome). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Copede (2009),
beliau meneliti tentang ketidakseimbangan asam folat yang dihubungkan dengan
terjadinya down syndrome. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya kekurangan
dan ketidakseimbangan asam folat dalam tubuh meningkatkan resiko terjadinya
trisomi. Berhubungan dengan folat, keberadaan vitamin B-12 juga mempengaruhi
metabolisme folat di dalam tubuh, sehingga asupan vitamin B-12 dan asam folat
sangat penting bagi ibu mempersiapkan kehamilan dan dalam masa kehamilan.
Anugerah Tuhan dengan mengkaruniai
Mommy dan Ayah dengan anak DS tidak perlu disesali, karena semua yang diberikan
oleh Tuhan adalah yang terbaik untuk kita. Untuk Mommy dan Ayah yang ingin
merencanakan memiliki anak, sebaiknya memperhatikan faktor resiko yang telah disebutkan
diatas. Setiap orang tua pasti mengharapkan yang terbaik untuk putra-putrinya. Jika
Mommy sedang hamil atau merencanakan memiliki anak, tingkatkan konsumsi asam
folat dan vitamin B-12, serta makanan bergizi lainnya bahka sebelum melahirkan. Pada usia ke 8-20 minggu
kehamilan periksakan kondisi kehamilan.
Referensi
Coppede, F.
(2009). The complex relationship between folate/homocysteine metabolism and
risk of down syndrome. Elsevier Journal. 682, 54-70. doi:
10.1016/j.mrrev.2009.06.001
Janti, S.
(2008). Gangguan tumbuh kembang dentokraniofasial. Jakarta : EGC
Nagya, R. Gyula.
(2013). Lower risk for down syndrome associated with longer oral
contraceptive use: a case-control study of women of advanced maternal age
presenting for prenatal diagnosis. Elsevier Journal. 87-4.
Semiun. Y. (2006).
Kesehatan mental 2. Yogyakarta : Kanisius
Turkington, C.
(2004). The encyclopedia of children’s health and wellness. USA : Facts
On File
http://www.isdi-online.org/en/information/about-down-syndrome.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar