Sabtu, 11 Oktober 2014

Faktor Risiko Down Syndrome


 oleh Masturoh Widuri Sinta

Down syndrome (DS) merupakan suatu kelainan genetik ditandai dengan kelebihan kromosom 21, biasanya berjumlah 3 yang menyebabkan terjadinya retardasi mental dan fisik pada penderitanya. Normalnya, jumlah kromosom saling berpasangan. Kejadian DS di Indonesia terjadi setiap 1 dari 600 kelahiran bayi. Anak yang mengalami DS memiliki muka yang sangat khas, sering kali anak dengan down syndrome disebut ras mongolia. Tanda yang dapat langsung dilihat setelah lahir adalah posisi telinga yang berada di bawah garis mata. Normalnya, posisi telinga berada sejajar dengan garis mata. Terjadinya DS pada anak dapat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhannya.


Pemeriksaan untuk melihat adanya DS dapat dilakukan pada saat kehamilan dan lahir. Pemeriksaan pada saat kehamilan dilakukan antara minggu ke 8-20 usia kehamilan. Jenis pemeriksaanpun bermacam sesuai dengan kebutuhan dan kondisi ibu. Jenis pemeriksaan antara lain Chorionic Virus Sampling (CVS), amniosintesis, Percutaneous Umbilical Blooad Sampling (PUBS). Amniosintesis dilakukan pada minggu ke 12-20 usia kehamilan, CVS dilakukan pada minggu ke 8-12 usia kehamilan, dan PUBS pada minggu ke-20 kehamilan. Pemeriksaan pada bayi dilakukan saat bayi baru lahir dengan melihat keadaan fisik bayi seperti kekuatan otot, bentuk wajah, bentuk mata, dan bentuk telinga.
Terdapat tiga pola yang mengakibatkan terjadinya DS, yaitu, trisomi 21, translokasi, dan mosaicism. Trisomi 21 adalah kelainan yang terjadinya karena adanya kesalahan pada saat pembelahan sel. Translokasi adalah ketika pada saat pembelahan terjadi perpindahan kromosom lain ke arah kromosom 21. Mosaicism terjadi ketika terdapat 2 sel dari berbeda kromosom terjadi karena lambatnya penyatuan kromosom. Tipe translokasi dan mosaicism jarang terjadi. Down Syndrome tidak selalu diturunkan pada keturunan yang selanjutnya. Down Syndrome dapat terjadi karena beberapa faktor resiko, diantaranya adalah usia ibu pada saat hamil, adanya riwayat keluarga DS, oral kontrasepsi, dan ketidakseimbangan asam folat.
Usia ibu pada saat hamil menjadi faktor resiko yang selalu disebutkan dalam jurnal penelitian, buku, maupun website mengenai down syndrome. Usia ibu mempengaruhi terjadinya pembelahan sel, makin tua usia ibu maka terdapat faktor pengganggu pada pembelahan sel terutama pada usia ibu diatas 35 tahun. Seperti yang disebutkan diatas bahwa down syndrome tidak langsung diturunkan pada keturunan selanjutnya, ibu yang memiliki resiko atau kelainan yang mengarah pada down syndrome akan menurunkan bakat tersebut ke keturunannya. Riwayat keluarga down syndrome juga menjadi faktor resiko.
Nagya (2013) menyebutkan dalam jurnalnya bahwa ibu dengan kehamilan trisomi memiliki riwayat pemakaian oral kontrasepsi lebih pendek sebelum adanya kehamilan trisomi. Dengan kata lain, oral kontraspesi membantu ibu dalam mengurangi resiko terjadinya kehamilan trisomi (down syndrome). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Copede (2009), beliau meneliti tentang ketidakseimbangan asam folat yang dihubungkan dengan terjadinya down syndrome. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya kekurangan dan ketidakseimbangan asam folat dalam tubuh meningkatkan resiko terjadinya trisomi. Berhubungan dengan folat, keberadaan vitamin B-12 juga mempengaruhi metabolisme folat di dalam tubuh, sehingga asupan vitamin B-12 dan asam folat sangat penting bagi ibu mempersiapkan kehamilan dan dalam masa kehamilan.
Anugerah Tuhan dengan mengkaruniai Mommy dan Ayah dengan anak DS tidak perlu disesali, karena semua yang diberikan oleh Tuhan adalah yang terbaik untuk kita. Untuk Mommy dan Ayah yang ingin merencanakan memiliki anak, sebaiknya memperhatikan faktor resiko yang telah disebutkan diatas. Setiap orang tua pasti mengharapkan yang terbaik untuk putra-putrinya. Jika Mommy sedang hamil atau merencanakan memiliki anak, tingkatkan konsumsi asam folat dan vitamin B-12, serta makanan bergizi lainnya bahka  sebelum melahirkan. Pada usia ke 8-20 minggu kehamilan periksakan kondisi kehamilan. 

Referensi
Coppede, F. (2009). The complex relationship between folate/homocysteine metabolism and risk of down syndrome. Elsevier Journal. 682, 54-70. doi: 10.1016/j.mrrev.2009.06.001
Janti, S. (2008). Gangguan tumbuh kembang dentokraniofasial. Jakarta : EGC
Nagya, R. Gyula. (2013). Lower risk for down syndrome associated with longer oral contraceptive use: a case-control study of women of advanced maternal age presenting for prenatal diagnosis. Elsevier Journal. 87-4. 
Semiun. Y. (2006). Kesehatan mental 2. Yogyakarta : Kanisius
Turkington, C. (2004). The encyclopedia of children’s health and wellness. USA : Facts On File
http://www.isdi-online.org/en/information/about-down-syndrome.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar